Monday, January 24, 2011

"Gelombang Demokrasi" Melanda Jazirah Arab

VIVAnews -Gelombang aksi massa menuntut demokratisasi kini melanda negeri-negeri Arab. Setelah Aljazair, Tunisia, demonstrasi massa menuntut perubahan kekuasaan menular ke Yaman. Jatuhnya Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali kini mengancam penguasa di negeri tetangga.
Pada Sabtu 22 Januari 2011, satu demonstrasi diikuti 2.500 orang terjadi di Sanaa, Ibukota Yaman. Massa menuntut Presiden Ali Abdullah Saleh yang sudah berkuasa selama 32 tahun mundur dari kekuasaan.
"Keluar! Keluar, Ali! Gabung bersama temanmu Ben Ali," teriak para demonstran. Ben Ali adalah Presiden Tunisia yang lari ke Arab Saudi setelah terjadi gelombang unjuk rasa besar-besaran.

Ini adalah demonstrasi pertama yang menuntut Presiden Yaman mundur. Bentrokan kecil terjadi di kampus Sanaa. Fouad Dahaba, seorang aktivis menyatakan, demonstrasi ini hanyalah awal, dan tak akan berhenti sampai tuntutan mereka terkabul.
"Kami akan berjalan ke jalanan Sanaa, ke jantung Sanaa dan Istana Presiden. Hari-hari berikutnya akan ada eskalasi," kata Dahaba, yang juga anggota parlemen dan pimpinan serikat pengajar itu.

Orang-orang di Yaman menilai aksi itu sangat beralasan. Berpenduduk 23 juta jiwa, Yaman adalah negeri termiskin di dunia Arab. Pemerintahannya dinilai korup, dan bersekutu dengan Amerika Serikat dalam memerangi Al-Qaidah.
Kebebasan politik sangat terbatas. Dahaba dan para aktivis lainnya bakal dihadang tembok otoriterisme. Seperti rejim lainnya di dunia Arab, pemerintah Yaman tidak toleran terhadap kritik, dan pasukan keamanan mereka berada di atas angin karena bantuan Amerika Serikat melawan Al Qaidah.
Pasukan keamanan pun bergerak cepat melawan aksi demonstrasi. Polisi menembak ke arah pengunjuk rasa. Pejabat setempat mengklaim, sekitar 30 demonstran dibekuk.
Demonstrasi juga berlangsung di Aden, kota pelabuhan di Yaman. Sebanyak 22 aktivis ditahan. Polisi berjaga di setiap sudut kota.
Sejak kejadian di Tunisia, Presiden Yaman bertindak lebih sigap. Dia tahu kemarahan rakyat bisa mengancam kursi kekuasaannya. Karena itu, sang presiden lalu memotong separuh pajak pendapatan, dan mengendalikan harga.
Lebih dari separuh rakyat Yaman hidup di bawah garis kemiskinan US$2 per hari. Mereka tak bisa mendapatkan sanitasi layak. Kondisi yang timpang itu kini dikhawatirkan akan memicu kemarahan rakyat. Gerakan ketidakpuasan itu pun mencemaskan negara-negara Arab lainnya.
Rentetan tuntutan demokratisasi ini berawal dari kerusuhan massa di Aljazair dan Tunisia sejak dua pekan lalu. Korban jiwa jatuh. Kericuhan di dua negara Afrika Utara ini dipicu oleh ketidakpuasan kaum muda atas tingginya harga bahan pokok, dan parahnya tingkat pengangguran.
Bermula di Aljazair
Pada Minggu 9 Januari 2011 waktu setempat, kerusuhan itu dilaporkan menewaskan 14 orang di Tunisia, dan tiga lainnya di Aljazair. Bagi rakyat Aljazair, ini adalah demonstrasi terbesar dalam 20 tahun terakhir.

Di Aljazair, demonstrasi berlangsung sejak 4 Januari 2011, bermula di pinggiran Ibukota Aljir. Aksi itu berkembang menjadi kerusuhan pada esoknya harinya di Oran. Pada 5 Januari itu, kerusuhan meluas ke distrik Bab El Oued di pusat kota Aljier. Dalam sekejap, kemarahan menyebar ke 24 kota di Aljazair. "Saya dapat memastikan tiga pemuda tewas di M’sila, Tipasa dan Boumerdes," ujar Menteri Dalam Negeri Aljazair, Daho Ould Kabila, pekan lalu.

Kabila mengatakan lebih dari 1.000 orang ditahan. Sekitar 736 petugas keamanan, dan 53 pengunjuk rasa terluka dalam bentrok sepanjang pekan lalu. Melejitnya harga bahan makanan pokok, dan banyaknya angka pemuda menganggur menjadi penyebab utama kerusuhan pekan lalu.
Pemerintah Aljazair akhirnya menurunkan pajak dan bea sampai 41 persen untuk produk gula dan makanan pokok lainnya, pada pekan lalu. Penurunan harga ini hanya berlaku hingga akhir Agustus mendatang. Namun, langkah pemerintah ini tak cukup meredam amarah para pemuda yang telah lama dipinggirkan.

"Kami muak diacuhkan setiap saat. Kami muak diperlakukan seperti marmut. Kami katakan ini kepada pemerintah: Kalian tidak berbuat apa-apa kepada kami, kami tidak mengakui kalian lagi,” ujar salah satu pengunjuk rasa, Hamid, seorang penganggura dari Bab El Oued.
Menular ke Tunisia
Kerusuhan serupa terjadi dalam waktu sama di Tunisia. Sekitar 14 orang tewas. Menurut Kementerian Dalam Negeri Tunisia, korban tewas akibat bentrokan yang meletup pada Sabtu, 8 Januari 2011, di kota Kasserine, Thala dan Regueb, dekat perbatasan Aljazair.
Para korban tewas kebanyakan adalah para pengunjuk rasa yang membawa bom molotov, batu dan tongkat, serta menyerang properti publik. Jika dihitung sejak kemarahan ini meledak pada akhir Desember 2010, ditaksir telah puluhan orang tewas akibat bentrok dengan aparat pemerintah.
Kelompok sipil dan oposisi mengatakan demonstrasi yang berujung rusuh di Tunisia penyebabnya sama seperti di Aljazair, yaitu tingginya angka pengangguran terpelajar, dan naiknya harga bahan makanan pokok.
Kemarahan para penganggur ini meledak ketika seorang tukang sayur Mohamed Bouazizi, 26 tahun, membakar dirinya sendiri bulan lalu. Setelah mendapatkan perawatan, dia akhirnya tewas pekan lalu.

Bouazizi nekat bunuh diri setelah frustasi dagangan sayur dan buahnya disita polisi karena tak memiliki izin. Sarjana muda ini terpaksa berjualan buah karena dia telah menganggur sekian lama.
Aljazair dan Tunisia adalah dua negara yang memiliki angka pengangguran terpelajar tinggi. Tapi pemerintahnya seperti tutup mata terhadap kritik oposisi. Itulah yang kerap menyulut bentrokan di kedua negara ini.
Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), angka pengangguran di kedua negara itu mencapai hampir 30 persen dari total populasi. Rata-rata penganggur adalah pemuda di bawah 25 tahun. Padahal, para pemuda di kedua negara ini berjumlah sangat besar, yaitu hampir 70 persen dari keseluruhan populasi.
Kondisi di Tunisia diperburuk dengan kelakuan Presiden Ben Ali dan istrinya, Leila Trabelsi. Kekuasaan Ben Ali berakhir secara tidak terhormat saat dia dan keluarga kabur ke Arab Saudi, Jumat 14 Januari 2011, setelah tak bisa lagi mengendalikan kemarahan rakyat akibat krisis ekonomi.
Rakyat Tunisia tidak saja muak dengan Ben Ali - yang memerintah selama 23 tahun - namun juga kepada Leila Trabelsi. Mantan penata rambut itu berganti status menjadi Ibu Negara saat suaminya menjadi presiden Tunisia, melalui kudeta tak berdarah, pada 1987.
Akibat bisnis keluarga
Di mata rakyat Tunisia, Leila Trabelsi dianggap simbol korupsi dan ketamakan. Bersama sepuluh saudara kandungnya, perempuan 53 tahun itu berbisnis seperti jaringan mafia. Mereka menarik uang para pemilik toko, menuntut saham di sejumlah perusahaan, dan berbagi konsesi atas proyek-proyek di Tunisia.
Semua usaha di Tunisia, baik itu bank, maskapai penerbangan, agen mobil, operator internet, stasiun televisi dan lain-lain pasti dikuasai keluarga Leila dengan memanfaatkan kekuasaan Ben Ali.
Maka, saat Ben Ali dan Leila kabur, banyak properti dan tempat usaha milik keluarga Trabelsi jadi sasaran pembakaran dan penjarahan. Menurut kabar media setempat, seorang kerabat Trabelsi dibunuh massa. Selain itu, seorang pilot menolak menerbangkan pesawat yang membawa lima anggota keluarga Trabelsi ke luar negeri. Pilot itu akhirnya disambut sebagai pahlawan.

"Mereka [keluarga Trabelsi] adalah pencuri, penipu, bahkan pembunuh," ujar Mantasser Ben Mabrouk, seorang warga Tunisia yang marah. "Tujuan mereka hanya untuk mencetak uang dengan berbagai cara," lanjut Ben Mabrouk.
Penulis buku mengenai Leila Trabelsi, Catherine Graciet, mengungkapkan Leila dan kerabatnya menjadi salah satu sebab jatuhnya rezim Ben Ali. Rakyat Tunisia sadar sudah muak, dan tak tahan lagi atas ulah mereka. "Namun, kita tak bisa menimpa kesalahan sepenuhnya kepada keluarga Trabelsi. Ben Ali yang membiarkan mereka bertindak demikian," lanjut Graciet.
Leila adalah anak kelima dari keluarga pedagang buah kering dan memiliki sepuluh saudara. Sempat bekerja sebagai penata rambut dan gagal mempertahankan perkawinannya yang pertama, Leila menikah dengan Ben Ali pada 1992.
Saat itu, Ben Ali sudah lima tahun berkuasa sebagai presiden melalui kudeta tak berdarah. Dia merebut kekuasaan dari Habib Bourguiba yang sakit-sakitan. Bagi Ben, pernikahannya dengan Leila adalah yang kedua.
Presiden Ben Ali disebut-sebut telah berbuat banyak bagi kebaikan Tunisia. Tapi keluarganya juga berbuat banyak kejahatan bagi Tunisia. Kelompok Transparency International, misalnya, mencatat bisnis keluarga presiden dilakukan secara sewenang-wenang dengan memeras pengusaha lokal.
"Para investor Tunisia, karena takut dengan jaringan "keluarga", akhirnya enggan melakukan investasi baru. Akibatnya tingkat investasi domestik tetap rendah dan pengangguran jadi tinggi," demikian laporan Kedutaan Besar AS di Tunis pada Juni 2008. Laporan kedutaan itu awalnya bersumber dari Transparancy International, yang lalu bocor di laman WikiLeaks.(np)
• VIVAnews

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites